Dalam struktur bahasa manapun, kata 'lobi' dan 'suap' sama sekali tidak ada kaitannya. Dua kata itu masing-masing memiliki makna dan pengertiannya sendiri-sendiri. Namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia politik, ke dua kata itu hampir selalu saling berasosiasi.
Ketika kita mendengar orang mengatakan 'sedang melobi si polan' maka bisa dipastikan dalam benak kita yang terbayang adalah ada pembicaraan dibawah meja yang diwarnai dengan uang pelicin. Atau ketika kita mendengar ada anggota dewan yang sedang bertemu dengan seorang pengusaha di sebuah hotel, maka kitapun akan dengan serta merta membayangkan sedang terjadi suap-menyuap untuk suatu transaksi kebijakan terkait dengan sebuah proyek. Atau, yang saat ini sedang ramai dibicarakan, ketika kita mendengar ada pertemuan antara beberapa anggota dewan dengan seorang kandidat pejabat publik di sebuah hotel, maka yang terbayangkan, sang kandidat sedang melobi anggota dewan untuk mendapat dukungan politik dengan berbagai macam embel-embelnya yang tentu saja akan dibumbui dengan aroma yang tidak sedap.
Bila demikian halnya, maka tidak terlalu salah apabila orang sering mencibir kata-kata lobi. Dari pengalaman kita sehari-hari, terutama dalam dunia politik yang penuh dengan gonjang-ganjing tarik ulur kepentingan itulah akhirnya sadar atau tidak sadar kita menempatkan kata-kata lobi sebagai salah satu kata yang berkonotasi negatif. Seakan-akan lobi identik dengan suap.
Tapi, benarkah lobi-melobi itu harus selalu diasosiasikan dengan adanya penyuapan atau korupsi sehingga kegiatan lobi-melobi harus diartikan sebagai hal yang negatif ?.
Rasanya bukan pekerjaan yang mudah untuk 'membersihkan' kata-kata 'lobi' dari kesan negatif yang sudah terlanjur melekat cukup dalam. Apalagi belum ada instrumen yang cukup memadai untuk menempatkan kata lobi maupun kegiatan lobi-melobi dalam perspektif yang lebih netral.
GS
No comments:
Post a Comment